Menemukan Jalan Tengah: Spiritualitas Mahasiswa Muslim ITB di Tengah Gempuran Ideologi
|
Bandung, sebagai kota pelajar dan pusat intelektual, telah lama menjadi saksi berbagai pergolakan pemikiran dan semangat perubahan. Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia, tak hanya menjadi ladang tumbuhnya inovasi dan sains, tetapi juga arena dinamika spiritual dan ideologis yang kompleks. Di antara sekian banyak mahasiswa yang menempuh pendidikan di sana, terdapat komunitas mahasiswa muslim ITB yang terus berjuang untuk menjaga integritas iman dan idealisme di tengah derasnya arus modernitas dan infiltrasi ideologi menyimpang.
Banyak dari mereka yang tinggal di asrama mahasiswa ITB,
tempat yang bukan hanya menjadi ruang istirahat, tapi juga ruang pembentukan
karakter dan nilai-nilai keislaman. Di asrama inilah sering kali
diskusi-diskusi dini hari terjadi, dari persoalan kuliah hingga isu-isu
keumatan. Namun, tidak sedikit pula yang terjebak dalam lingkaran doktrin yang
membingungkan, bahkan menyesatkan.
Dilema Spiritualitas di Kampus Teknologi
Sebagai kampus yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir,
ITB tentu membuka ruang luas bagi tumbuhnya berbagai gagasan. Namun kebebasan
ini kadang menjadi celah bagi masuknya kelompok atau lembaga yang membawa
paham-paham yang tidak selalu selaras dengan prinsip Islam yang rahmatan lil
‘alamin. Salah satunya adalah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam
namun memiliki agenda politik tertentu, seperti Neo-NII.
Beberapa mahasiswa bercerita, mereka pertama kali dikenalkan
pada kelompok semacam ini melalui aktivitas mentoring atau halaqah informal.
Semuanya terlihat wajar dan bahkan islami pada awalnya. Diskusi tentang akidah,
tauhid, pentingnya jamaah, serta hadits-hadits tentang ketaatan. Tapi perlahan,
kontennya mulai menyimpang: menanamkan doktrin bahwa hanya kelompok mereka yang
"haq", serta mengharuskan infaq dalam jumlah tetap setiap
bulan, bahkan hingga 10% dari penghasilan orang tua. Ada pula yang diarahkan
untuk meninggalkan keluarga yang tidak sefaham, hingga bersumpah setia dalam
bentuk baiat yang tidak jelas dalilnya.
Asrama sebagai Tempat Aman atau Justru Rawan?
Asrama mahasiswa ITB memiliki potensi luar biasa
untuk menjadi tempat pembinaan karakter dan spiritualitas. Namun dalam beberapa
kasus, asrama juga bisa menjadi ladang subur bagi berkembangnya pengaruh
ideologi menyimpang, apalagi jika tidak ada pengawasan memadai atau pemahaman
keislaman yang kuat dari penghuni.
Para mahasiswa muslim ITB perlu dibekali bukan hanya
dengan semangat keislaman, tetapi juga dengan literasi agama yang benar.
Penting bagi mereka untuk mampu membedakan mana ajaran Islam murni yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, dengan pemahaman sempit yang
dibungkus jargon agama.
Salah satu contohnya adalah narasi “kebenaran hanya milik
kelompok kami” yang sering digaungkan oleh kelompok-kelompok eksklusif. Ini
bertentangan dengan semangat persatuan yang diajarkan Islam: “Dan
berpegangteguhlah kalian pada tali Allah dan janganlah berpecah belah.” (QS
Ali Imran: 103).
Melawan Eksklusivisme dengan Keilmuan
Tantangan besar bagi mahasiswa muslim ITB adalah
bagaimana mereka bisa menjadi agen perubahan yang cerdas, bukan korban dari
infiltrasi ideologi. Kampus seperti ITB menyediakan banyak fasilitas dan
organisasi keislaman resmi, seperti masjid Salman dan lembaga dakwah kampus,
yang dapat menjadi benteng pertahanan ideologis dan spiritual.
Sudah saatnya mahasiswa berani bertanya: “Apa dalilnya?”,
“Apakah ini diajarkan Nabi ﷺ?”, “Mengapa harus infaq sekian persen,
dan ke mana alokasinya?” Kritis terhadap ajaran bukan berarti membangkang,
melainkan bentuk tanggung jawab sebagai hamba Allah yang ingin selamat dunia
dan akhirat.
Dalam pengalaman nyata beberapa mahasiswa, mereka yang
pernah terlibat dalam jaringan doktrin menyimpang mengaku merasa terkekang,
kehilangan relasi dengan keluarga, dan dihantui rasa bersalah jika tidak patuh
pada perintah pemimpin kelompok. Setelah mereka keluar, perlu waktu panjang
untuk memulihkan mental, spiritual, bahkan sosial. Sayangnya, tidak semua
berani keluar. Sebagian tetap bertahan karena takut dikucilkan, atau karena
sudah terlalu dalam menerima doktrin.
Peran Kampus dan Sesama Mahasiswa
ITB dan lembaga-lembaga di dalamnya memiliki peran penting
dalam memberikan pendidikan karakter dan pengawasan. Penguatan organisasi
keislaman resmi, penyuluhan, serta ruang diskusi terbuka dapat menjadi langkah
preventif.
Teman-teman satu asrama pun punya tanggung jawab moral.
Jangan cuek saat ada teman yang mulai berubah drastis, menarik diri dari
lingkungan, atau mulai membicarakan konsep-konsep yang terdengar ekstrem. Ajak
diskusi, beri ruang untuk bertanya, dan arahkan pada kajian yang ilmiah serta
terbuka.
Penutup
Menjadi mahasiswa muslim ITB di era modern bukanlah
hal mudah. Tantangan bukan hanya datang dari luar, tetapi juga dari
dalam—berupa ideologi yang dibungkus agama, namun menyimpang dari esensi Islam
yang sejati. Di sinilah peran asrama mahasiswa ITB sebagai tempat
pembinaan sangat krusial. Dengan pembinaan akidah yang benar, komunitas yang
sehat, dan keberanian untuk berpikir kritis, mahasiswa bisa menemukan jalan
tengah: menjadi ilmuwan yang beriman, serta muslim yang tercerahkan, bukan yang
terjebak.
0 comments:
Posting Komentar